Mengapa Romusha dikatakan Luka Bangsa Indonesia yang Tidak Pernah Kering

Mengapa Romusha dikatakan Luka Bangsa Indonesia yang Tidak Pernah Kering

ROMUSHA adalah tenaga kerja paksa pada masa pendudukan bala tentara Jepang. Tenaga kerja paksa ini diambil secara acak oleh militer Jepang, dengan melibatkan aparatur pemerintah, dan sejumlah pemimpin pergerakan rakyat.

Jepang memerlukan romusha itu untuk mengerjakan proyek-proyek militer mereka, baik yang ada di daerah pendudukan, maupun di luar Indonesia. Para pekerja ini terdiri dari laki-laki desa miskin, yang berusia antara 16-60 tahun. Sementara kaum lelaki dijadikan romusha, kaum perempuan dipaksa membajak sawah, dan melakukan pekerjaan-pekerjaan berat lainnya.

Sedang anak gadis mereka dijadikan budak seks tentara Jepang yang ada di garis depan peperangan. Banyak di antara romusha dikirim ke Sumatera, bahkan sampai ke Birma, Thailand, dan pulau-pulau bagian timur.

Dari kira-kira 500.000 orang yang dikirim kerja paksa, hanya sebagian kecil saja yang kembali setelah perang usai.Menurut WF Wertheim, dari sekitar 300.000 jiwa yang dikirim ke seberang lautan, hanya sekitar 70.000 orang saja yang selamat dan bisa kembali ke kampung halaman mereka setelah perang. Sisanya, meninggal dalam kerja paksa.

Para romusha itu diangkut dengan menggunakan truk-truk dalam perjalanan yang jauh di daerah pendudukan, dan dalam gerbong-gerbong kereta tertutup rapat tanpa udara, dengan jumlah ribuan orang berjejalan ke luar Indonesia. Sampai tempat kerja paksa, para romusha dibelenggu berdampingan dengan para tahanan perang untuk membuat jalan raya Birma.

Selama kerja paksa itu, mereka dibiarkan kelaparan hingga tubuhnya tinggal kulit pembalut tulang. Penggambaran lebih rinci dan jelas mengenai nasib romusha, diceritakan panjang lebar oleh Tan Malaka. Saat dalam perjalanan menuju pabrik arang Bayah Kozan, di Banten Selatan, Tan Malaka melewati sepanjang Jalan Saketi-Bayah.

Tan Malaka menulis, Jalan Saketi-Bayah menyimpan sejarah yang menyedihkan. Bahkan tak kalah sedihnya dengan jalan Anyer ke Banyuwangi pada masa Deandels, yang memakan ribuan jiwa orang Indonesia buat imperialisme Belanda.

Selain jalan Saketi-Bayah, proyek kerja paksa yang banyak menelan jiwa romusha adalah pulau Manuk yang berada 5-6 kilometer dari kampung Bayah. Di kawasan ini, romusha dibiarkan mati terserang borok, disentri, dan malaria.

Karena kurangnya perhatian umum, dan tenaga penggali kubur, mayat romusha yang jumlahnya puluhan ditumpuk saja dalam satu lubang besar. Hingga setiap hujan turun, mayat-mayat itu mengambang naik ke atas permukaaan. Para romusha itu banyak yang berasal dari Solo, Kediri, Bojonegoro, dan daerah pedalaman Jawa lainnya.

Rata-rata mereka berprofesi sebagai petani miskin, dan buta huruf yang diambil secara paksa oleh aparatur desanya.

Pihak aparatur desa yang paling bertanggung jawab dalam mengirimkan rakyatnya menjadi romusha adalah kepala desa atau lurah, dan camat setempat. Jumlah romusha yang dikirimkan setiap minggunya mencapai 1.000 orang lebih. Selain oleh aparatur pemerintah, pengerahan rakyat menjadi romusha juga dilakukan oleh elite politik lokal maupun nasional. Para elite ini biasanya melakukan propaganda kepada rakyat agar mau menjadi romusha di luar daerah.

Di Keresidenan Pekalongan, elite politik lokal yang aktif mengirimkan romusha kepada Jepang berasal dari Partai Nasionalis Indonesia (PNI), di mana Soekarno terlibat aktif dalam propaganda kemenangan Asia Timur Raya.

Tinggalkan komentar